Anak Lorong...

Saya terlahir dan besar sebagai anak Lorong... namun berpindah-pindah lorong seiring tuntutan kehidupan. Sekedar kenangan... sejak lahir hingga batita tinggal di rumah kakek  di Lorong Maricaya Utara, tepatnya di belakang Pasar Maricaya atau jalan Domba, kemudian saat balita hingga tumbuh dan bermain di Lorong Onta pasar Maricaya Selatan (rumah sewa). Setelah rumah bapak selesai, kami pindah ke rumah dalam lorong 73-75 jalan Veteran Selatan. Dan terakhir, mungkin karena kondisi kehidupan di lorong tersebut sdh tidak kondusif untuk anak2 ibu bapak yang banyak lalu pindah ke rumah baru kami di sebuah lorong dalam kompleks P&K  jl. Mon. Emmy Saelan saat saya naik kelas 2 SMP ... kompleks tersebut merupakan perumahan BTN pertama yang ada di Makassar... rumah cicilan untuk para PNS... ^_^

Tren "Anak Lorong" untuk saat ini begitu menggaung namanya... seiring kemenangan sementara seorang kandidat cawalkot Makassar yang dikenal sebagai tim pasangan DIA. Dan seperti biasanya saya berusaha mencoba memaknai apa yang ada di balik fenomena sbh tren dadakan yang lagi2 cetar membahana... ^_^

Menurut logika pendek yang ada di benak ini, simbolisasi atau icon "Anak Lorong" yang diusung tim pasangan DIA hanyalah untuk menepis perlawanan yang diusung kandidat lainnya lewat sbh komunitas/kelompok, baik dari suku maupun partai. Karena pasangan DIA ini memang tidak mewakili sbh suku di sulsel dengan kata lain suku beliau dari sebuah propinsi seberang...

Kata "Lorong" seperti yang umumnya sering dimaknai sebagai sebuah jalan kecil/sempit dengan rumah tanpa pagar di sepanjang jalan tersebut, sehingga icon "Anak Lorong" sangat tepat untuk mewakili kebersamaan komunitas yang beragam, baik dari keberagaman suku, agama dan ras bahkan tingkat ekonomi kehidupan. Dan kebersamaan tersebut dengan sangat mudah tercipta karena rumah para penghuni yang berdempetan/merapat satu sama lain, dengan intensitas pertemuan/perjumpaan wajah antar perorangnya tentu lebih tinggi karena jalan untuk menuju/datang ke/dari semua kegiatan hanya dengan sebuah jalan kecil tersebut.

Fitrahnya kebersamaan "anak lorong" bisa menjadi jaminan sebuah kebersamaan yang natural, tanpa embel-embel kepentingan dan polos. Kebersamaan anak lorong selalu tumbuh dan besar karena rasa senasib sepenanggungan. Pecah sebuah piring di rumah sebelah saja terdengar, apatah lagi sebuah pertengkaran atawa rintihan kesakitan tetangga yang ada... tawuran? soo besar kemungkinan anak lorong akan siap menghadapi bila seorang warganya ada yang disakiti, apatah jua cuman mencoblos salah seorang warga mereka.... ^_^

Bilakah tim "Anak Lorong" yang akan menjadi walikota periode berikutnya? Berharap sangat... seyogyanya Lorong2 yang ada di seantero kota Makassar dibenahi terlebih dahulu, mulai dari drainase dan sampah, hingga jalan kecil lorong dan penataan rumah2nya... terkhusus lagi, lebih diperhatikan adalah tingkat kesejahteraan mereka... yang notabene, umumnya penghasilan mereka berada di level menengah ke bawah... tabe'
Salama'ki...


Depok, 18 September 2013
=====
sumber gambar: www.koranmakassaronline.com
(re post- September 18, 2013 at 9:33pm)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sosok Perempuan bernama "Sri Mulyani Indrawati"...

Bila Bermental "Hangat-hangat Tahi Ayam"...

Dosen Harus Pintar..?